🐄 Cerita Silat Mandarin Pendekar Matahari

InilahCerita Silat Mandarin Online [Terbaru] Chelsea Rowe Oktober 25, 2021. Yuk cek cerita silat mandarin online Cersil Pdf Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun karya Wang Du Lu. PB 15 Tamat Cerita Filipina Dewasa Melodrama. Cersil Cerita Silat Pedang Angin Berbisik Full Kom. Ganminta rekomendasi donk tentang cerita silat gan Di kaskus hanya ada dua cerita yang bertema kan silat yaitu Pendekar suling bambu (kentang udah beberapa bulan ) dan PENDEKAR SLEBOR . Meraba Matahari Jejak Dibalik Kabut Cersil Mandarin Trilogi Rajawali Pendekar Pemanah Rajawali (Sia Tiaw Eng Hiong) CersilPendekar Pedang Matahari cerita silat cina cerita silat mandarin. indozone net • pendekar pedang matahari. download cersil gratis pendekar rajawali sakti prahara. cersil mandarin pdf wickenburg1896 de. pendekar matahari cerita silat fandom powered by wikia. free cersil pendekar pedang matahari pdf epub mobi. EbookGratis Kirara Cersil Mandarin. Cerita Silat Dan Ebook. Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari Cerita Silat Novel. Dunia Kang Ouw Asmaraman S Kho Ping Hoo. Cersil Indo 8th, 2022. CeritaSilat Mandarin. Pendekar Matahari Cerita Silat FANDOM powered by Wikia. Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komplit 1. Free Cersil Pendekar Pedang Matahari PDF ePub Mobi. DUNIA KANG OUW DOWNLOAD PEDANG PUSAKA DEWA MATAHARI. Cersil Golok Pembunuh Naga To Liong To Komplit Full 1 29. PendekarPedang Matahari ------------------------------- ---------------------------- PAGI yang cerah begitu terasa indah ketika panorama alam terbentang luas di depan mata, setidaknya hal itulah yang kini tengah di rasakan oleh pasangan muda mudi yang sedang berjalan jalan di sebuah bukit hijau yang sangat indah. CeritaSilat Online Pendekar Matahari; Kumpulan Cerita Silat Online. Cersil Online: Bara Maharani 7 tahun yang lalu Pawon Resep Masakan Eysa. 2017 Hanya untuk Penggemar Cerita Silat Online berupa kumpulan semua cersil cersil terbaik dari Mandarin, Indonesia, China Atau Negeri Antah Berantah lainnya. Author by: Thomas A. Green Language: en Koleksiterlaris cerita silat (cersil) online dan gratis. Pendekar gelandangan (01) bab 01. Nah, oh put kui (opk) ini juga keluarganya berantakan, ibunya. Di kala itu sang bulan dengan setianya menggantikan matahari. Cerita silat mandarin online : Adapun sumber file ebook didapat dari berbagai media di internet. EbookGratis Kirara Cersil Mandarin. Cerita Silat Dan Ebook. Jaka Wulung 3 Pendekar Bunga Matahari Cerita Silat Novel. Dunia Kang Ouw Asmaraman S Kho Ping Hoo. Cersil Indo 1th, 2022Cersil Pendekar Pedang MatahariCersil Pendekar Pedang Matahari Cersil-pendekar-pedang-matahari 1/1 Downloaded From November 14, 2020 By Guest . Saat-Saat Terakhir SUNGAI Ci Liwung mengalir tenang. Nyaris tidak ada riak yang membuat perahu kecil itu bergoyang. Ini bukan laut, tentu saja. Dan Jaka Wulung sebenarnya tidak begitu asing dengan sungai karena dia pernah akrab dengan Ci Pamali. Ah, masa kecil yang indah. Tapi, siapa sebenarnya orangtuaku? pikir Jaka Wulung. “Kalau sudah di air, kau selalu jadi pendiam,” kata Ciang Hui Ling. “Mabuk lagi?” Wajahnya tidak lagi pucat seperti ketika muntah-muntah akibat bau kepala babi busuk. Bagi Ciang Hui Ling, tampaknya laut dan sungai justru menjadi obat yang mujarab bagi mual-mual di perutnya. Di buritan perahu kecil yang melaju tenang, Ciang Hui Ling berdiri dengan tangan bersedekap, memandang arah hilir yang tebing-tebing di sisinya ditumbuhi pepohonan dan perdu yang hijau segar. Di sebelah kanannya, Jaka Wulung lebih suka duduk dengan lutut menekuk, dan lebih banyak menunduk. Gadis itu menghirup bau harum hutan pinggir sungai, memenuhi dadanya, mengobati kerinduannya. Beberapa hari saja sebenarnya dia pergi meninggalkan Ci Liwung, tapi serasa sudah berbulan-bulan. Betapa senangnya kembali ke rumah. “Aku lagi menikmati saat-saat ... kebersamaan kita,” sahut Jaka Wulung. Ciang Hui Ling menoleh. Keningnya berkerut. “Bukankah beberapa hari ini kita terus bersama-sama? Tampaknya, ada satu kata yang tidak kau ucapkan, Jaka.” Tentu saja, saat-saat terakhir. Tapi, Jaka Wulung tidak mengucapkannya. “Itu kalimatku secara lengkap,” katanya. Ciang Hui Ling menghela napas dalam-dalam. Beberapa hari dalam kebersamaan, dia belum bisa menyibak misteri yang menyelimuti Jaka Wulung, seorang pendekar belia yang namanya makin ditakuti di kalangan jago-jago silat, dengan julukan yang makin harum, Titisan Bujangga Manik. Siapa sebenarnya dia? Bagaimana isi hatinya? Ciang Hui Ling seakan-akan membentur dinding gelap setiap mencoba menyelami isi hatinya. “Bukankah nanti kita akan punya waktu banyak untuk menikmati kebersamaan?” Tatapan Ciang Hui Ling kembali lurus ke aliran air Ci Liwung. Laju perahu meninggalkan riak gelombang yang sedikit memanjang ke belakang, hampir menyentuh haluan sebuah perahu di belakang mereka. “Kau tentu saja akan kembali ke tempat gurumu, memperdalam ilmumu, sedangkan aku harus pergi meneruskan langkahku,” ucap Jaka Wulung pelan, nyaris seperti berbisik. Ciang Hui Ling tidak langsung menyahut. Meskipun tidak mencolok, perahu di belakang mereka makin lama makin dekat. “Jaka,” mata Ciang Hui Ling tetap memandang ke arah perahu di belakang mereka, “tidakkah kau bisa tinggal beberapa hari di tempat guruku?” “Hmmm ... bisa saja. Tapi, apa bedanya? Setelah beberapa hari itu, aku tetap harus pergi.” “Jelas berbeda. Kebersamaan kita akan lebih lama. Atau, ... tidakkah aku nanti bisa menemanimu bertualang? Ke mana sebenarnya tujuanmu?” Jaka Wulung tidak menjawab. Apa yang bisa dia jawab? Bertualang ke mana-mana dengan seorang gadis cantik, sakti, dan cerdas seperti Ciang Hui Ling, tentu saja akan sangat menyenangkan. Tapi masalahnya, ya, itu tadi, tersurat dalam pertanyaan Ciang Hui Ling, ke mana sebenarnya tujuan dia berkelana? Seorang pangeran kerajaan selalu menjalani tahap berkelana untuk makin mematangkan ilmu dan pengetahuannya sebelum kelak duduk di singgasana. Eyang gurunya, Resi Bujangga Manik, berkelana hingga Pulau Dewata demi menyempurnakan ilmunya untuk akhirnya kembali ke tanah kelahirannya meskipun tidak kembali ke Istana Pakuan, tempat yang sebenarnya berhak dia tinggali. Tapi, ke mana kelak dia akan mengakhiri petualangannya? Perahu di belakang mereka makin mendekat, sedikit berbelok ke kanan, dan tidak lama kemudian, haluannya mulai menjajari buritan perahu di depannya. Dua pendayungnya adalah dua lelaki berpakaian hitam-hitam dengan wajah yang sama-sama dipenuhi bulu. Kelihatannya terus mendayung dengan sekuat tenaga. Dan memang luar biasa tenaga kayuhan mereka karena perahu itu pun sedikit demi sedikit mulai berusaha mendahului perahu yang ditumpangi Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. “Kau mau? Kau mau menemaniku ke mana saja?” Jaka Wulung mendongak memandang Ciang Hui Ling. Akan tetapi, kali ini Ciang Hui Ling seakan-akan tidak mendengar pertanyaan Jaka Wulung. Wajahnya mengikuti laju perahu yang terus berusaha mendahului perahu yang mereka tumpangi. Ketika kedua perahu itu sudah sejajar, Ciang Hui Ling dengan cepat mengira-ngira jarak di antara kedua perahu itu. Sekitar dua setengah depa. Ciang Hui Ling meloncat ke pinggir perahu, meniti beberapa langkah hingga kira-kira di bagian lambung kanan. Lalu, dengan menggunakan pinggir perahu itu sebagai titik tumpu, dia melenting melintasi arus sungai dan hinggap nyaris tanpa menimbulkan suara dan goyangan di haluan perahu, tepat di hadapan orang-orang berbaju hitam-hitam yang sedang mengayuh. Jaka Wulung merasakan goyangan perahu akibat loncatan Ciang Hui Ling. Tapi, tentu saja bukan itu yang membuatnya berdiri cepat. Jaka Wulung tidak menyadari apa sebenarnya penyebab yang membuat Ciang Hui Ling mengabaikan pertanyaannya, dan malahan meloncat ke perahu di sebelahnya. Tapi, dengan cepat, Jaka Wulung bisa menilai bahwa tentu ada sesuatu yang mencurigakan dari perahu itu. Jaka Wulung harus mengakui, di Ci Liwung, Ciang Hui Ling adalah nona rumah yang memahami seluk-beluk sungai ini sehingga lebih cepat menyadari hal yang mencurigakan. Dengan satu loncatan dari pinggiran perahu, Jaka Wulung juga melenting melalui arus sungai, lalu hinggap tanpa suara di bagian buritan. Kedua pendayung berbaju hitam-hitam dan wajah berbulu itu terkejut melihat bayangan kuning berkelebat, dan tahu-tahu, hinggap di hadapan mereka. Kedua pendayung itu dengan serta-merta menghentikan gerakan mendayung mereka, lalu sama-sama mendongak memandang siapa yang datang. Sinar agak redup matahari yang jatuh tegak lurus mula-mula mengaburkan pandangan mereka, tapi sedikit demi sedikit mereka bisa memandang wajah si pendatang. Seorang gadis muda yang cantik, berkulit kuning cerah dan bermata sipit. Hanya seorang gadis muda. Kedua orang itu sama-sama menarik napas lega, setidaknya secara naluriah setiap lelaki akan senang berjumpa dengan seorang wanita cantik, apalagi seperti yang mereka alami kali ini, mereka seakan-akan mendapat kunjungan seorang bidadari yang tiba-tiba turun dari langit. Kedua orang itu, tentu saja dalam hati, mengakui betapa cepat dan ringannya gerakan si gadis, yang menunjukkan bahwa tingkat ilmunya tergolong tinggi. Tapi, mereka sama-sama yakin bahwa gadis itu bukan merupakan bahaya besar, melainkan akan menjadi selingan dalam perjalanan mereka kali ini. Perahu melambat karena kedua orang itu masih menghentikan kayuhan mereka. Perahu yang sebelah kiri terus melaju, tidak terpengaruh oleh kejadian di sebelahnya. “Apa yang kalian bawa di dalam sana?” tanya Ciang Hui Ling. Matanya tajam memandang kedua orang itu bergantian. Kedua orang itu saling pandang di antara mereka, lalu secara serentak sama-sama tertawa. “Krrrhhh. Apa urusanmu, Nona?” Orang yang di sebelah kanan perahu balik bertanya. Suaranya terdengar aneh, seakan-akan keluar dari mulut yang rongganya dipenuhi dengan bulu-bulu. “Segala kejahatan di sepanjang sungai ini adalah urusanku.” “Krrrhhh. Kejahatan apa yang telah kami lakukan?” “Aku memang belum bisa membuktikannya. Tapi, aku sudah mencium baunya. Bahkan, bau itu sangat tajam.” “Krrrhhh. Jangan mengigau, Nona. Dari mana Nona bisa mencium adanya bau kejahatan di sini? Apakah baunya seperti babi busuk?” Kedua orang itu tertawa lagi. Ciang Hui Ling mendadak mual mendengar kata babi busuk. Rasanya, tercium lagi bau busuk yang tadi membuatnya muntah-muntah di kedai makan. Tapi, dengan cepat, dia membuang ingatan itu. “Benar,” kata Ciang Hui Ling. “Baunya seperti babi busuk.” Kedua orang itu tertawa lebih keras. Tawa mereka pastilah berbau babi busuk. Sreeet! Ciang Hui Ling menghunus pedang dari pinggangnya. Sebilah pedang ramping yang berkilat memantulkan cahaya matahari. Ciang Hui Ling menunjuk kabin kecil di perahu itu dengan ujung pedangnya. “Perlihatkan kepadaku, apa yang kalian bawa!” Kali ini, kedua orang itu sama-sama berdiri. Tapi, tangan mereka masih sama-sama menggenggam dayung perahu. Perahu masih bergerak ke depan, sisa kayuhan terakhir mereka. Tapi, sangat pelan karena memang berlawanan arah dengan arus air. Hanya saja, karena air di situ mengalir sangat pelan, boleh dikatakan perahu pun nyaris diam di tempat. “Krrrhhh. Siapakah Nona sehingga merasa punya hak memerintah kami?” “Sebagai warga tepi Sungai Ci Liwung, aku berkepentingan untuk menjaga daerah ini tetap aman.” Kedua orang berpakaian hitam-hitam itu saling pandang lagi di antara mereka, lalu tertawa berbarengan. Rupanya, mereka sudah terbiasa saling pandang dulu, kemudian tertawa bersama-sama. Semacam ikatan batin yang terjadi karena sudah lama hidup bersama-sama. Ciang Hui Ling geram karena merasa disepelekan. “Harap kalian ketahui, namaku Ciang Hui Ling, murid Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung.” [] Tarian Sepasang Pendekar DARI delapan penjuru mata angin berlesatan berbagai macam senjata. Semuanya melesat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa. Semuanya memiliki ujung yang tajam mengarah kepada titik-titik rawan di tubuh Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Semuanya sudah diarahkan dengan perhitungan yang terencana. Tidak hanya delapan ternyata. Sebab, dari tiap arah mata angin melesat tidak hanya satu senjata, tetapi dua, tiga, empat, lima .... Semuanya meluncur berturutan tanpa jeda dalam sekian kejap. Bunyinya mendesing-desing menyibak udara. Setiap desing menebarkan ancaman yang mematikan. Untunglah, baik Jaka Wulung maupun Ciang Hui Ling sudah bersiap menghadapi kemungkinan seperti ini. Jaka Wulung tidak mau menghadapi risiko sekecil apa pun, misalnya salah satu senjata yang datang beruntun itu lolos dari tangkisannya dan mengenai Ciang Hui Ling. Dia pun berharap Ciang Hui Ling mampu juga menepis semua senjata yang mengarah kepada dirinya. Jaka Wulung langsung menerapkan ilmunya sampai taraf yang tinggi. Sejak tadi, dia sudah mengatur napasnya sedemikian rupa sehingga dari tenggorokannya tak tertahankan lagi mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman. Seperti suara harimau Lodaya .... Grrrhhh! Bersamaan dengan itu, kudi hyang di tangannya bergerak dengan kecepatan sulit diukur, serta tenaga yang di luar kewajaran manusia, menangkis satu per satu senjata mana pun yang mengarah kepada dirinya. Yang terlihat hanyalah ujung kudi hyang yang meliuk-liuk menciptakan garis cahaya yang tampak tidak beraturan. Tang! Ting! Trak! Bunga-bunga api bepercikan ke segala arah. Senjata-senjata itu pun seperti membentur perisai tidak kasatmata, sebagian beterbangan kembali ke arah datangnya semula, sebagian lagi melenting setelah patah di bagian tengah dan jatuh lima-enam langkah di sekeliling Jaka Wulung. Pada saat yang sama, seraya menggerakkan tubuhnya mengikuti setiap senjata yang mengarah kepada dirinya, Ciang Hui Ling memutar pedangnya, membentuk lingkaran yang makin lama makin besar dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Demikian cepatnya putaran pedang itu sehingga tampak seperti payung terbuka, dengan suara yang mendesing- desing, diselingi bunyi benturan yang berdenting-denting, dan dihiasi bunga-bunga api yang bisa membuat mata terpicing-picing. Di bawah berkas-berkas sinar matahari yang makin membias, putaran pedang itu memberikan warna yang indah sekali, sekaligus mengerikan. Jurus Tarian Payung Bunga Matahari. Sebuah keindahan jurus silat sekaligus ketangguhan yang sulit dicari tandingannya. Tidak satu pun senjata yang dilepaskan dari segala arah itu menembus lingkaran payung bunga matahari. Golok, pedang pendek, anak panah, bahkan tombak, seakan-akan membentur sebuah dinding baja. Semua terpantul, melenting, atau terlontar balik untuk kemudian bergeletakan menjadi benda mati belaka. Beberapa kejapan hujan senjata itu memberondong Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling dari segenap penjuru hutan. Beberapa kejapan itu pula, Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling melakukan gerak tingkat tinggi yang sangat selaras sehingga sekilas lintas tampak seperti gerak yang biasa ditampilkan para penari mahir. Tentu saja, gerak ilmu silat dan tarian memang seperti dua wajah dalam permukaan keping uang yang sama. Beberapa kejapan, sepasang pendekar belia itu memperlihatkan tarian yang elok tersebut sebelum kemudian berhenti, karena tidak ada lagi senjata yang melesat ke arah mereka. Senjata-senjata berserakan seperti mayat-mayat di Kurusetra. Udara lengang. Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling berdiri tegak dengan kaki-kaki selebar pundak, dan senjata-senjata tetap tercengkeram dalam genggaman. Keduanya menunggu, kejutan apa lagi yang akan mereka hadapi. Angin seperti mati dan langit yang mulai kelabu menebarkan tabir sunyi. Akan tetapi, kesunyian itu segera pecah oleh gelombang tawa yang melanda dari empat arah mata angin. Gelombang tawa itu susul-menyusul disertai pengerahan tenaga dalam yang sangat kuat. Apa yang terdengar oleh indra telinga memang hanyalah suara tawa biasa. Tapi, yang tertangkap oleh indra perasa adalah bunyi dentuman yang menghantam- hantam, seperti palu godam. Hantaman yang bergelombang itu meresap jauh hingga ke dalam tubuh, masuk ke simpul-simpul saraf, mengikuti aliran di pembuluh darah, meliuk-liuk lalu merajam-rajam selaput jantung. Orang biasa yang mendengar tawa seperti itu tidak akan mampu bertahan lama karena jantung mereka akan berdenyut cepat, sangat cepat, di luar sadar mereka, lalu riwayat mereka akan segera berhenti dengan darah yang tertumpah dari mulut mereka. Mereka akan tewas tanpa menyadari apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi, dua orang yang berdiri di tengah lahan kosong di tengah hutan itu adalah Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, dua pendekar belia yang sudah memiliki bekal ilmu yang cukup untuk mengarungi dunia kejam persilatan. Jaka Wulung tidak percuma mendapat julukan Titisan Bujangga Manik. Dia sadar bahwa gelombang tawa yang dilepaskan dua atau tiga orang sekaligus itu bukanlah tawa sewajarnya. Karena itu, sejak awal dia segera membangun pertahanan di segala simpul saraf dan pembuluh darah yang pasti akan mendapat serangan gelombang tawa. Serangan gelombang tawa itu seakan-akan pecah seperti gelombang laut yang pecah dibelah karang. Pecah berkeping-keping menjadi gelombang yang lemah, lalu lenyap, seolah-olah butir air yang sirna diserap pasir gurun. Akan tetapi, mendadak Jaka Wulung merasakan satu gelombang lain yang menebar dari belakangnya, menembus bajunya dan meraba permukaan kulit punggungnya. Gelombang pengerahan tenaga untuk melawan gelombang tawa. Ciang Hui Ling menghadapi saat-saat genting ketika upayanya untuk menahan gelombang tawa nyaris tiba pada titik kekalahan. Tubuhnya bergetar nyaris tidak terkendalikan. Jaka Wulung tersadar bahwa ketika mengetahui serangan gelombang tawa itu tidak mampu melumpuhkannya, dua atau tiga penyerang itu mengarahkan serangannya lebih terpusat kepada Ciang Hui Ling. Sekian gelombang tawa bersatu menjadi satu, saling menguatkan, menimbulkan serangan gelombang yang sangat mematikan! Tanpa bersentuhan pun, Jaka Wulung merasakan betapa tubuh Ciang Hui Ling bergetar makin lama makin hebat. “Bertahanlah, Lingling,” bisik Jaka Wulung. Tanpa membalikkan badannya, Jaka Wulung mendekati Ciang Hui Ling, menempelkan punggungnya ke punggung gadis itu. Rapat. Terasa punggung Ciang Hui Ling basah oleh keringat. Jaka Wulung lekas memusatkan tenaga dalamnya, menyalurkannya keluar dari titik-titik simpul saraf di punggungnya, menembus pakaian keduanya, lalu meresap masuk ke tubuh Ciang Hui Ling melalui titik-titik simpul saraf di punggung gadis itu. Ciang Hui Ling segera merasakan hawa yang sejuk, tapi memiliki kekuatan yang dahsyat untuk melawan gelombang tawa yang nyaris mencabik-cabik jantungnya. Terjadi pertempuran tak kasatmata yang dahsyat antara gelombang tawa yang kekuatannya berlipat dengan tenaga bantuan Jaka Wulung ke tubuh Ciang Hui Ling. Perlahan-lahan, denyut jantung Ciang Hui Ling mereda menuju bilangan yang sewajarnya. Detik demi detik pula gelombang tawa dari lawannya melemah, seakan-akan membentur lapisan dinding peredam suara. Kini, Ciang Hui Ling sudah bisa kembali bernapas seperti biasa. Sejalan dengan itulah, gelombang suara tawa itu pun perlahan-lahan mereda, lalu lenyap, menyisakan udara yang kembali dilapisi sunyi. Kesunyian yang tetap mencekam. Dalam hitungan tidak sampai delapan, dari arah timur, tepatnya dari arah sebelah kiri Jaka Wulung, muncul tiga orang lelaki. Secara bersamaan, Jaka Wulung memutar tubuhnya ke kiri, sedangkan Ciang Hui Ling memutar tubuh ke kanan. Keduanya kini sama-sama menghadapi kemunculan tiga lelaki itu dan bersiap menghadapi kemungkinan baru. Akan tetapi, ketiga orang itu berjalan tegak dengan langkah yang biasa- biasa saja. Pelan dan penuh dengan rasa percaya diri. Pedang panjang menggantung di pinggang masing-masing. Salah seorang dari mereka, yang kelihatan paling tua dan menjadi pemimpin di antara mereka, melangkah paling depan. Dua yang lainnya mengapit di kiri dan kanan, agak ke belakang, seperti dua pengawal seorang pangeran. Ketiganya sama-sama memiliki tubuh tinggi tegap, dengan wajah-wajah yang mirip satu sama lain, dengan kumis yang sama-sama tebal menghias wajah tampan mereka, disertai tatapan tajam kepada Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling. Tampan tapi menyeramkan. Busana yang mereka kenakan terbuat dari bahan kain yang bermutu tinggi meskipun warna birunya sudah memucat. Begitu pula dengan corak ikat kepala mereka. Dari situ pun sudah jelas bahwa ketiga lelaki itu adalah lelaki bangsawan, boleh jadi keturunan keraton. Lima langkah di hadapan Jaka Wulung dan Ciang Hui Ling, ketiga orang itu berhenti. Lelaki yang paling tua, berusia sekitar empat puluh tahun, memandang Jaka Wulung dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu memandang Ciang Hui Ling beberapa kilas dengan kening berkerut. Lelaki itu kembali menatap tajam Jaka Wulung. Jaka Wulung balas menatap lelaki itu. Lelaki itu mengejapkan mata sebelum berdeham. “Hmmm ..., inikah bocah yang mengaku dirinya Titisan Bujangga Manik?” Suaranya terdengar bergetar, seperti keluar dari tabung yang bocor. Mungkin ada masalah pada pita suaranya. Jaka Wulung masih menatap lelaki itu tanpa berkedip. Lalu, katanya dengan suara yang hampir berbisik, “Apakah aku mengenal Ki Dulur?” Lelaki itu menggeretakkan giginya. “Kau sungguh sombong, Bocah.” Kali ini, Jaka Wulung-lah yang mengerenyitkan dahinya. “Maaf, Ki Dulur, rasanya ini bukan persoalan sombong atau tidak. Seperti yang mungkin Ki Dulur lihat, aku hanyalah seorang bocah, belum banyak mengenal dunia, belum bisa memilah mana sikap sombong dan mana sikap yang rendah hati.” “Oho, kau juga pandai bersilat lidah.” “Tentu saja, Ki Dulur. Bukankah lidahku tidak bertulang?” Jaka Wulung merasa sudah kepalang tanggung. Lelaki itu menggeretakkan giginya lagi. Kali ini lebih keras sehingga berbunyi seperti ranting patah. “Kau membuatku marah, Bocah,” ucapnya, dengan suara yang tambah bergetar. Jaka Wulung tertawa pelan. “Aneh,” katanya kemudian. “Mestinya akulah yang marah, Ki Dulur. Ada urusan apakah antara kami berdua dan kelompok Ki Dulur sehingga kami dijebak sampai di sini?” Lelaki itu tertawa. Suaranya sumbang. Dan dari suara tawanya itu, Jaka Wulung menduga kuat bahwa gelombang tawa yang menyerangnya tadi bukanlah berasal dari lelaki di hadapannya. Siapa ketiga lelaki ini? Dan siapa orang-orang yang berada di belakang mereka yang masih bersembunyi di kedalaman hutan di sekitar tempat itu? Apakah guru mereka? Jaka Wulung makin meningkatkan kewaspadaan. “Bocah, kau sadar bahwa kalian sudah terjebak. Tak ada jalan keluar bagi kalian dari tempat ini, sehebat apa pun ilmu kalian.” Lelaki itu berhenti sebentar. Lalu katanya, “Hanya satu cara supaya kami berbaik hati memberi jalan bagi kalian untuk pergi dengan selamat.” Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Menunggu kata-kata selanjutnya dari bibir lelaki itu. “Berikan kantongmu.” Kata-kata lelaki itu pastilah jelas terdengar oleh siapa pun yang berada di sekitar lahan kosong di tengah hutan itu, termasuk oleh orang biasa yang tidak punya kemampuan lebih. Namun, Jaka Wulung, pendekar belia yang daya tangkap telinganya jauh melebihi manusia kebanyakan, justru tidak sepenuhnya percaya bahwa dua kata itulah yang memang benar-benar diucapkan lelaki itu. “Apa kata Ki Dulur?” tanya Jaka Wulung. Lelaki itu kelihatan tidak bisa menahan dirinya. “Kukira kata-kataku sangat jelas, Bocah.” “Hmmm ...,” Jaka Wulung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Rupanya, Ki Dulur sekalian ini perampok yang keliru memilih sasaran.” “Jangan banyak bacot, Bocah. Kami bukan perampok. Cepat serahkan kantongmu.” “Oh, kata-kata Ki Dulur tambah kasar saja. Rupanya begitulah kata-kata khas para perampok, begal, dan sebagainya.” “Persetan dengan kata-katamu,” kata lelaki itu seraya mencengkeram gagang pedangnya. “Jangan sampai kami berbuat kasar kepada kalian!” Jaka Wulung mengerutkan kening, lalu kembali menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa. Dia menoleh kepada Ciang Hui Ling. “Selain terjebak di tempat antah-berantah, Lingling, kita juga terjebak dalam penalaran yang aneh. Bukankah kita sudah sejak tadi diperlakukan secara kasar?” “Para perampok selalu punya penalaran sendiri,” sahut Ciang Hui Ling. “Ya, penalaran para perampok.” “Diaaam!” Lelaki itu menarik pedang dari pinggangnya, lalu mengacungkan ujungnya lurus ke wajah Jaka Wulung. “Cepat lemparkan kantongmu!” Jaka Wulung masih berdiri bingung. Di luar sadarnya, dirabanya kantong kainnya di pinggang. Apa yang membuat kantongnya menarik perhatian orang-orang itu? Mengapa demi kantong itu, dia sampai digiring hingga jauh dari masyarakat ramai, dan dijebak hingga di dalam hutan? Kantong kain kecil itu hanyalah berisi sepasang baju dan celana pengganti, beberapa keping uang yang tidak seberapa, pisau pangot, beberapa lempir daun lontar .... Jaka Wulung mulai bisa meraba apa yang mereka incar. “Cepat lemparkan!” Pendekar belia itu mengerutkan keningnya. “Maaf, Ki Dulur, tak ada barang berharga dalam kantongku ini. Aku hanya membawa beberapa keping uang ” “Kami tidak butuh uangmu. Kami ingin kitab yang kau bawa!” Kata-kata lelaki itu membenarkan dugaan samar yang sempat terlintas di kepala Jaka Wulung. Namun, Jaka Wulung pura-pura terkejut dengan mulut ternganga. “Kitab?” Tangannya mengusap-usap kain kantongnya. “Kitab apa?” “Sudahlah, tidak perlu berkelit.” “Aku cuma bertanya, kitab apa? Lagi pula, bagaimana Ki Dulur menyimpulkan bahwa aku membawa kitab yang Ki Dulur inginkan dalam kantong ini?” “Kalau kau mengaku Titisan Bujangga Manik, kalau kau benar-benar murid Resi Bujangga Manik, atau setidaknya murid Resi Darmakusumah, kau tentu tahu di mana keberadaan kitab-kitab yang pernah dicuri dari Keraton Pajajaran, terutama Kitab Siliwangi.” Tiba-tiba, ingatan Jaka Wulung melayang pada cerita Resi Darmakusumah, gurunya, mengenai pengalamannya tatkala menyelamatkan tiga kitab yang tersisa dari puluhan kitab pusaka Kerajaan Sunda, ketika Keraton Pakuan Pajajaran dibumihanguskan oleh pasukan Banten. Ketiga kitab itu adalah Patikrama Galunggung, yang ditulis oleh Prabu Darmasiksa, naskah Bujangga Manik, karya eyang gurunya, Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik, dan satu lagi kitab tanpa judul, yang oleh kalangan keraton disebut Kitab Siliwangi, yang konon ditulis oleh Prabu Siliwangi sendiri. Ketika baru saja menyelamatkan tiga kitab itulah, Resi Darmakusumah dicegat oleh sekelompok orang yang juga mengincar kitab-kitab itu. “Ah, Ki Dulur pastilah Munding Wesi bersaudara,” kata Jaka Wulung. [] Arus air terjun itu sangat deras sekali, maka dari itu dengan sendirinya tubuh Han Li terbawa hanyut. Han Li berpikir bahwa dirinya akan binasa terbentur-bentur dengan batu gunung yang banyak terdapat disitu, kalau sampai dirinya terdorong oleh arus air terjun yang tumpah dengan derasnya. Pemuda itu memejamkan mata sambil menantikan kematiannya, dengan hati yang kebat-kebit. Meskipun sesuatu yang dapat diramalkan manusia bakal terjadi, namun bila Thian berkehendak lain, tak ada makhluk apapun didunia ini yang mampu mencegahnya, begitu pula dengan Han Li, memang dia belum ditakdirkan untuk mati. Sehingga kejadian yang dianggap mustahilpun bisa terjadi. Dalam waktu yang cukup lama dirinya terbawa hanyut, sampailah dia terdampar di sebuah telaga yang cukup besar. Hamparan air biru di telaga luas itu amatlah menakjubkan. Sinar mentari menyiratkan cahayanya di permukaan air bagaikan sapuan lembut perawan desa di jerami jingga. Cahaya biru kuning memantul disana-sini bercampur warna perak menyatu membentuk benang-benang cahaya yang amat indah, indah dan penuh pesona. Permukaan airnya mengeriput kecil bagai lipatan kain panjang di tubuh bumi. Tiga Burung belibis putih terlihat mengepakan sayapnya diudara menyusuri permukaan telaga. Sungguh pemandangan yang luar biasa indahnya dan sangat alami tanpa terjamah tangan-tangan jahil manusia. Entah berapa lama pemuda itu tertidur di pesisir telaga, kemudian terbangun, matanya terbuka dan dilihatnya pemandangan telaga yang sungguh indah. Cukup lama juga dia terpesona dengan pemandangan dihadapanya, lalu kepalanya menengok kekiri dan kekanan. Tampak di sebelah kirinya terdapa sebuah gua yang cukup besar. Han Li menghampiri gua tersebut, ternyata di dalam gua tersebut tampak sebuah ruangan yang seperti dibuat oleh tangan manusia. Malah yang mengherankan, ruangan tersebut di lengkapi dengan alat-alat perabotan rumah tangga, seperti kursi dan meja. Han Li mengerutkan alisnya. "Siapa yang mendiami ruangan tempat ini?" pikir pemuda itu dengan heran dan kebingungan, sejenak terlupa akan dirinya yang terluka. Apakah didalam ruangan ini terdapat seseorang yang tinggal mendiami tempat yang aneh dan letaknya sangat tersembuni ini? atau tempat ini merupakan tempat tinggal seorang tokoh aneh yang mengasingkan diri?. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam hatinya. Setelah diteliti beberapa lama, dia dapat mengambil kesimpulan bahwa tempat ini sudah lama sekali tidak di tinggali oleh pemiliknya, buktinya debu yang terdapat dilantai, meja dan kursi, hampir setebal 2mm. Tiba-tiba hati Han Li tertarik ketika ia melihat goresan-goresan lukisan dan huruf yang yang tertera di dinding ruangan itu, karena seperti pernah melihat huruf-huruf itu. Tergetarlah hatinya karena ingat bahwa huruf-huruf tersebut sama persis dengan huruf-huruf yang ada dalam peta kuno. Segera dikeluarkan peta kuno tersebut. Dan benarlah sama persis gambar dan hurufnya, tentu saja ini menunjukkan bahwa pembuat peta dan pelukis dinding ini adalah orang yang sama. Tak dapat dibayangkan betapa gembiranya Han Li karena semua hasil kerjanya membuahkan hasil. Han Li kemudian masuk lebih dalam dan ternyata didalam ruangan tersebut masih terdapat sebuah ruangan lainnya. Hati pemuda itu terkejut bukan main, karena di sebuah pembaringan batu disudut ruangan dalam itu, tampak seorang kakek sedang duduk bersemedi. Seluruh rambutnya telah memutih dengan jenggot putih menutupi sebagian wajahnya yang berkerut. Raut wajah yang welas asih dan damai. Si pemuda menjadi heran, apakah kakek tua yang berambut dan kumis jenggot telah putih semua itu, pemilik tempat ini?. Han Li kemudian merangkapkan kedua tangannya sambil memberi kormat kepada kakek itu. "Boanpwe Han Li mengunjuk hormat pada Lo Cianpwe, Dengan memberanikan diri dan lancang sekali Boanpwe telah memasuki tempat Lo Cianpwe". Menunggu beberapa lama, tapi kakek itu tetap bersemedi seperti tidak mengacuhkannya. Si pemuda sangat heran, dia duga kakek itu tentunya tidak senang akan kehadirannya. Tapi setelah menunggu sekian lama tak ada reaksi pula, pemuda iru melangkah menghampirinya. "Apakah kakek ini telah meninggal?" Dilihatnya biarpun wajah si kakek itu tampak hidup namun tak tampak cahaya kehidupan. Han Li menghampiri lebih dekat lagi, dilihatnya kakek itu masih berdiam diri. Kemudian setelah menjura dia memegang baju si kakek, dan begitu tersentuh baju itu meluruk jadi abu. Ternyata benar dugaannya. Han Li lalu menyentuh tangannya, dirasakan tangan itu telah mengeras dan dingin sekali. Kalau dilihat bajunya yang begitu tersentuh terus melepuh menjadi abu, tentunya kakek itu telah menghembuskan napasnya sudah beberapa waktu yang lama sekali dan telah silam. Namun kalau memang si kakek telah binasa pada waktu yang silam, mengapa tubuhnya tidak hancur lebur ? Mengapa? - demonking - Pada dasarnya Sie Han Li adalah seorang pemuda yang berperasaan halus. Melihat seorang kakek tua yang telah sekian lama meninggal dunia namun jenasahnya tidak ada yang mengurus, hatinya merasa tidak tega. Sambil menjura dalam ke arah jenasah si kakek tua tersebut, Sie Han Li berkata "Mohon maaf locianpwe apabila kedatangan cayhe telah menganggu ketentraman, cayhe mohon ijin untuk menguburkan jenasah locianpwe agar dapat beristirahat lebih tenang" Setelah memberi hormat, Han Li menghampiri kakek tua tersebut. Singkat cerita jenasah si kakek berhasil di kubur Han Li di depan gua tersebut. Kemudian Han Li memasuki kembali gua tersebut guna menyelidiki lebih jauh goresan-goresan yang tertera di dinding gua. Begitu memasuki kembali gua itu, tanpa sengaja pandangan Han Li mengarah ke tempat samadhi si kakek tua. Terlihat sinar kecil keemasan seukuran stengah telapak tangan dewasa. Tertegun sejenak, Han Li menghampiri sinar keemasan tersebut, ternyata adalah sebuah kunci emas. Rupanya ketika menganggkat jenasah si kakek, ia tidak begitu memperhatikan bahwa di bawah tempat duduk si kakek tersebut terdapat sebuah benda yang disembunyikan di bawah tubuh kakek itu. Sambil mengamati kunci emas tersebut, Han Li mengira-ngira apa kegunaan kunci emas tersebut, bentuknya mirip kunci pada umumnya, yang membedakan hanya terbuat dari emas murni. Sambil termenung sejenak, Han Li memasukkan kunci emas tersebut ke dalam sakunya, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah dinding gua. Tulisan yang terdapat di dinding gua tersebut memang sama persis dengan tulisan di peta kuno, setiap lekuk huruf-hurufnya mirip tanda orang yang membuat peta kuno itu dengan tulisan yang terdapat di gua ini adalah orang yang sama. Sekian lama mengamati dinding gua tersebut, Han Li mendapati di bagian bawah dinding gua tersebut masih terdapat goresan tulisan yang lebih kecil, tertutup lumut hijau, agak terpisah dari goresan sebelumnya. Apabila matanya kurang jeli, jelas goresan itu akan terlewatkan. Tertarik hatinya, Han Li mendekat ke arah dinding gua tersebut. Sambil jongkok, tangannya meraba bagain bawah dinding tersebut. Lumut hijau yang menutupi tulisan di dinding, dibersihkannya hingga akhirnya goresan tulisan yang lebih kecil itu terlihat semuanya. Begitu melihat tulisan tersebut, Han Li merasa gembira ketika ia mendapati tulisan tersebut di tulis dalam bahasa yang dimengertinya. Jelas tulisan itu dengan tulisan di atasnya dibuat oleh dua orang yang berbeda. Dengan cepat ia mulai membaca tulisan tersebut. "Barang siapa yang berjodoh memasuki gua ini, berarti memiliki peruntungan yang sama denganku. Aku sendiripun tidak tahu siapa kakek tua yang ada di gua ini namun dugaanku, berdasarkan tulisan yang ia tinggalkan di dinding gua ini, kakek tua tersebut mungkin adalah pelayan atau murid atau orang kepercayaan si pemilik ilmu "Matahari". Sungguh beruntung aku sedikit memahami bahasa Thian-Tok Indiahingga petunjuk yang terdapat di didnding ini dapat kumengerti cukup jelas. Apabila yang menemukan gua ini tidak mengerti arti tulisan di atas, berikut adalah ringkasannya. Tulisan di atas pada intinya memberitahu letak disembunyikannya ilmu silat maha tinggi yang bernama ilmu silat "Matahari". Gambar di atas merupakan gambar puncak pegunungan Ko-San, begitu tiba di puncak tersebut, harap mengarah ke arah Timur kira-kira 1-2 mil, carilah sebuah lubang kira-kira seukuran badan manusia. Lubang tersebut merupakan jalan masuk yang mengarah ke lorong yang menuju ke bawah tanah. Uraian lebih lanjut tidak kujelaskan untuk menghindari ada orang yang memasuki gua ini setelah aku berlalu dari sini tak lama kemudian. Namun apabila orang yang masuk ke dalam gua ini kira-kira bertahun-tahun kemudian, nasehatku adalah segeralah pergi ke puncak gunung Ko-San. Siapa yang tahu apakah aku berhasil mendapatkan rahasia ilmu "Matahari" tersebut atau tidak. Bulan ketiga, tahun ke sebelas dinasti Tang Sehabis membaca tulisan tersebut, diam-diam Han Li kecewa. Ternyata telah ada orang yang berhasil memecahkan rahasia peta kuno tersebut. Hanya saja dilihat dari selang waktu dirinya memasuki gua ini dengan orang yang pertama kali datang, kira-kira berselang lima puluh tahunan. Entah apakah orang tersebut masih hidup dan berhasil mempelajari ilmu "Matahari" itu atau tidak, gumamnya. Dengan langkah gontai Han Li merebahkan diri di lantai gua, perasaan letih menghinggapi sekujur tubuhnya. Sambil berbaring dengan mata terbuka Han Li mengenang semua peristiwa selama berbulan-bulan semenjak ia menemukan peta kuno tersebut. Dia sendiri tidak tahu apakah tetap pergi ke puncak gunung Ko-San ataukah melanjutkan perjalanannya terdahulu yang sempat tertunda karena peta kuno tersebut. Sambil termenung Han Li mengamati sekawanan kunang-kunang yang beterbangan di langit-langit gua, mereka bersinar seolah menyambut kedatangannya bercanda gembira riang. Mata Han Li tak berkedip menatap ratusan cahaya kecil yang tersibak oleh gelap malam. Ia menahan nafas, menggagumi keindahan cahaya yang berpendar di atas langit-langit gua. Sekonyong-konyong matanya menangkap sesuatu di langit-langit gua, lapat-lapat matanya yang tajam melihat sebarisan huruf yang sangat kecil. Apabila dirinya tidak begitu kesengsem terhadap kawanan kunang-kunang tersebut, dapat dipastikan huruf-huruf tersebut terlewatkan olehnya. Dengan perasaan tertarik, Han Li bangkit berdiri. Sambil mendonggakkan kepala ia berusaha membaca tulisan kecil-kecil yang tertera di langit gua. Tulisan tersebut mirip dengan tulisan yang tertera di dinding gua dan berbunyi.... Siapapun yang ingin mendapatkan ilmu maha lihai peninggalan couwsu tidak akan berhasil apabila tidak memiliki kunci emas. Siapapun yang berhasil mendapatkan kunci emas tersebut, berhak menjabat sebagai ketua perguruan generasi ke lima menjaga dan mengembalikan kejayaan perguruan selama hidupnya. Siapa yang beruntung memiliki kunci emas ini, terserah pada Thian.

cerita silat mandarin pendekar matahari